11 Februari 2010

Jeda

Tujuh purnama sudah berlalu sejak aku mempertahankan tesisku pada ujian sidang Juli tahun lalu. Tiba-tiba saja aku teringat pesan seorang dosen pembimbing akademik, yang juga pembimbingku dalam menyusun tesis waktu itu. Pesan itu hampir-hampir kuserupakan dengan amanat, atau bahkan wasiat. Yang pasti, aku menyimpannya sebagai janji yang akan kutunaikan. Bukan janji pada guru-ku itu, tapi janji pada diriku sendiri bahwa sekecil apapun ilmu yang kudapatkan -terutama ilmu pengetahuan dari dosenku yang satu itu tentu saja- akan kuperdalam, kuberdayakan, kuperkembangkan, kusebarkan ke sebanyak mungkin manusia demi kehidupan yang lebih baik, yang lebih berarti, yang lebih bermakna. Aku percaya pencerahan manusia bisa dicapai melalui jalan ini.
Namun, sejujurnya aku malu. Aku malu karena sampai saat ini aku belum mampu merealisasikan pesan dan arahannya -yang sudah merupakan janjiku sendiri- agar aku konsisten meniti jalan ilmu pengetahuan. Rasa malu itu muncul bukan karena aku merasa tak mampu, tapi karena aku belum mencoba untuk melakukannya. Aku merasa kosong. Merasa memiliki utang yang belum juga sempat kubayar.
Lalu, aku menemukan kata aku. Jeda. Ya, jeda. Mungkin selama ini aku terlalu keras kepada diriku sendiri sehingga aku malah terbelenggu. Aku lupa bahwa diriku pun perlu jeda. Aku lalai untuk menikmati waktu luang yang selayaknya kuberdayakan untuk menabung energi dan menyuplai gagasan. Aku perlu sedikit bersantai agar pikiranku segar dan terbuka terhadap banyak hal. Hingga di suatu hari, aku siap kembali berkarya dengan cemerlang, entah di ranah apa, atau melalui media apa. Semoga.

2 komentar:

ari mengatakan...

nyantai aja..

h.a.h.n mengatakan...

berhenti untuk terus berlari kencang :D