29 Agustus 2008

Nyuci

Sebenarnya aku lagi gak ada ide untuk nulis. Tapi karena kemarin aku tak membuat posting apapun, sementara aku berhasrat blog ini bisa menjadi ruang terapi untuk menulis, jadilah aku "memaksa" diri untuk menulis. Aku pun teringat sepenggal episode hidup yang tak kusukai tapi harus selalu kujabani, meski tidak setiap hari: nyuci!
Biasanya aku ngantor pukul 8 teng, tapi pagi ini aku terlambat satu setengah jam. Alasannya, ya nyuci itu tadi. Tak tanggung-tanggung acara nyuciku mesti kubagi menjadi dua sesi (udah kaya rapat atau apa gitu, ya...). Alasannya agar tak cepat pegal dan lelah tentu saja.
Sesi pertama pada pukul 6 pagi, aku mencuci satu ember penuh pakaian dalam. Sesi kedua, pukul 8-an, aku mencuci lagi seember penuh pakaian; kali ini berisi kemeja, t-shirt, dan segala macam baju atasan lainnya yang cenderung berwarna terang.
Sudah dipastikan akan ada sesi ketiga, karena beberapa baju bawahan, yang sebagian celana panjang dan beberapa rok berwarna gelap dan netral masih menunggu giliran untuk dibersihkan....
Entah kapan bisa kulakukan, mungkin petang nanti. Tapi setidaknya aku bisa memilih menyerah, terbebas dari acara mencuci dan merelakan sebagian rupiahku untuk orang-orang laundry.

27 Agustus 2008

-pengakuan-


.........

padamu,

aku jatuh cinta berkali-kali

ucapnya seraya menghunjamkan tatap tajam ke mataku

.........

26 Agustus 2008

"M" di bawah, "M" di atas

Beberapa waktu lalu, aku bersitegang dengan pacarku. Pasalnya dia membeli tiket nonton dengan posisi M 10 dan M 11. Kontan saja aku kesal, pasalnya dalam pikiranku kursi "M" tersebut posisinya sangat dekat dengan layar dan membuat acara nonton tidak akan nyaman. Padahal dia membeli tiket pukul 16, untuk nonton film yang diputar pada pukul 20.

Pacarku berkeras kalau kursi "M' itu letaknya di atas. Aku sendiri tetap ngotot kalau kursi "M" itu letaknya di bawah.

"Emangnya kita nonton di audio berapa?" tanyaku dengan muka ditekuk menahan kesal.

"Di audio 4," jawab pacarku dengan kukuh.

"Ya, sudahlah," kataku menahan diri untuk tidak bersitegang lebih jauh.

Singkat kata, singkat cerita, kami pun memasuki audio 4 blitz megaplex. Ternyata, oh ternyata posisi kursi "M" itu memang letaknya di atas saudara-saudara.

Maklum saja, setiap aku nonton di sana tak pernah berkesampatan nonton di audio 4. Di audio lainnya, atau studio di bioskop lain biasanya kursi paling atas diberi label A. Bahkan sejak aku balita ketika nonton dengan kedua orang tua, setahuku deretan kursi paling ataslah yang selalu dilabeli "A" bukan deretan kursi paling bawah.

Aku pun jadi teringat percakapan dengan seorang kawan yang kuliah di Jurusan Filsafat beberapa waktu lalu tentang nomena yang kadang kala mendahului fenomena disebabkan oleh skema berpikir, pengalaman, atau persepsi seseorang pada masa lalu.

Apa mau dikata, jadilah aku "M" alias "malu" terhadap pacarku gara-gara "M" yang ternyata di atas itu.

25 Agustus 2008

Habis Sariawan Terbitlah Influenza

Menyedihkan sekali keadaanku akhir-akhir ini. Sepekan lalu aku menderita tak dapat menikmati santapan apapun karena sariawan. Semuanya bermula ketika aku menyikat gigi grasa-grusu sehingga gusiku terluka dan mengalami peradangan. Apa boleh buat, seenak apapun makanan, rasanya pedas dan getir di mulutku. Mau tak mau alias karena terpaksa, sereal pun kudaulat sebagai menu utama hari-hariku.
Vitamin C dosis tinggi yang rajin kukonsumsi dan porsi menu buah-buahan yang diperbanyak membuat sariawanku berangsur membaik meski masih ada sisa luka yang sedikit mengganggu di mulutku.
Eh, kemarin aku malah terserang influenza dan batuk yang sangat-sangat menggalaukanku. Hm, sedihnya....

21 Agustus 2008

Perjalanan


Ada banyak hal yang bisa dikenang dari perjalanan, sependek apapun jarak dan waktu yang kita tempuh untuk melakukannya. Week end kemarin, tepatnya Sabtu, 16 Agustus petang aku dan beberapa orang kawan mengawali perjalanan kami dari kawasan Setiabudhi. Garut kota Intan menjadi tujuan kami. Agendanya sederhana saja: mengenang hari jadi ibu pertiwi dengan menunaikan upacara bendera entah di gunung atau perbukitan mana yang kami temukan di sana. Kami juga punya agenda berikutnya, berendam air hangat tentu saja.
Sebenarnya, itu kali kedua aku mengunjungi kota Garut dengan berkendara roda dua. Namun, malam itu nuansanya begitu berbeda, mungkin karena perjalanan kali ini dilakukan beramai-ramai sehingga hatiku menghangat karena rasa persahabatan, mungkin juga karena rasa lega karena penat sepekan sebelumnya yang tlah terbebaskan. Sayang, udara tak begitu berpihak pada kami. Angin menderu seperti dalam puisinya Chairil Anwar.

Setibanya di Garut, sekira pukul 9 atau 10 malam, kami menginap di rumah seorang kawan. Esok harinya, kami menuju ketinggian bukit dan pegunungan untuk melaksanakan misi kami: upacara bendera.

Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali melakukan upacara bendera. Dengan versi yang agak semena-mena. Pohon yang didaulat sebagai tiang bendera, lagu Hari Merdeka yang dinyanyikan secara tak sempurna, rokok yang tetap menyala di tangan beberapa peserta upacara, teks Pancasila yang sedikit terlupa, jelasnya perangkat upacara kami boleh dikatakan sangat sederhana. Namun, kami, setidaknya aku sendiri, merasa demikian merdeka menjalaninya. Menyenangkan rasanya menikmati perjalanan dan kebersamaan dengan kawan-kawan, betapapun sederhananya apa yang dilakukan.
Selepas upacara bendera kami turun gunung, berendam air panas di sebuah kolam renang, menghilangkan pegal dan penat di badan. Kawan-kawan yang pandai berenang ya berenang, yang pandainya gaya batu ya diam membeku, eh airnya kan panas jadi gak beku tapi matang, hehehe...

Beranjak dari hangatnya air di kolam renang kami berburu makan siang yang sebenarnya sudah kesorean. Menu sop buntut pun jadi pilihan. Tak selesai di sana, kami mengunjungi kediaman salah seorang teman di dekat kawasan Situ Bagendit. Tanpa malu bertanya sehingga tak sesat di jalan kami sukses juga menemukan tempat tinggalnya. Martabak manis dan kopi pun jadi kudapan selanjutnya di sana.

Menjelang petang, kami pun memutuskan untuk pulang dengan rute perjalanan yang berbeda dari sebelumnya. Pemandangannya demikian indah dan menyejukkan mata di saat senja. Sejauh mata memandang hamparan padi luas menghijau tersiram warna emas kemerahan; melambungkan angan, menghanyutkan perasaan. Mengemas seluruh perjalanan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Menerbitkan kerinduan pada perjalanan di masa mendatang.

20 Agustus 2008

Malu....

Beberapa hari tak mengisi blog ini rasanya kangen juga. Padahal ada banyak hal yang ingin sekali kuceritakan. Mulai dari peristiwa yang kualami di sekitar pernikahan sahabatku awal bulan lalu, lomba paduan suara plus serangkaian latihannya, nge-camp di salah satu hotel untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, perjalanan ekspedisi merdeka ke Darajat di kawasan Garut sana, sampai pengalaman naik kereta untuk pertama kalinya setelah sekitar enam tahun aku menjadi penghuni kota ini.
Mungkin kumulai saja dari satu peristiwa di seputar pernikahan sahabatku yang sebenarnya aku sudah lupa, tapi dingatkan kembali oleh review yang tak terduga dari sahabatku itu. Peristiwanya bukan tentang acara akad nikah yang berjalan dengan baik tak lebih dari sepuluh menit. Bukan juga tentang meriahnya pesta pernikahan sahabatku sejak SMA ini. Aku juga tidak ingin membahas tentang beberapa kawan SMA dulu yang ternyata kurasakan tetap "sama" seperti dulu.
Senin siang, untuk pertama kalinya setelah dia menikah, aku kembali menghubungi sahabatku. Bertanya kabar dan sebagainya via ponsel. Siapa sangka dia akan mengungkit peristiwa di seputar pernikahannya mengenai hal yang tak pernah kuduga sama sekali: pertengkaranku dengan pacar di angkutan kota.
Setelah berkirim kabar seperti biasanya, Fisq, sahabatku itu tiba-tiba bertanya.
"Sen, kamu berantem, ya waktu pulang dari acara nikahan?" ujarnya spontan.
Aku pun memaksa ingatan untuk kembali ke saat itu. Aku ingat bertengkar dengan pacarku gara-gara hal yang sangat sederhana sebenarnya. Tapi kenapa Fisq bisa tahu, ya. Aku pun menyelidik lebih lanjut (setelah bengong beberapa lama).
"Hm, bagaimana, kamu tahu?" tanyaku separuh kaget separuh malu.
"Aku diberitahu seorang kerabat yang satu kendaraan sama kamu dan melihat kalian bertengkar."
"Oh, ya, bagaimana dia tahu tentang aku?" kejarku.
"Keluargaku tahu kamu sahabatku, aku sering cerita tentang kita, lagian mereka melihat kamu terlibat sejak acara lamaranku, jadi meski kamu gak kenal, mereka tahu kamu."
"Oooh...." sahutku tak bisa bicara lagi.
Dengan demikian, kawan, jangan pernah bertengkar sembarangan kalau tak ingin mendapat malu seperti aku. Ya, pokoknya jangan sampai lah....

11 Agustus 2008

Hitam dan Berminyak

Sudah cukup lama aku melihatnya di kaki lima, di sekitar kampus, bahkan di sebrang terminal, orang-orang menjajakan penganan itu. Beberapa waktu lalu, seorang adik tingkat juga mengemil penganan tersebut ketika mampir ke kosanku. "Ini enak banget," katanya berpromosi.
Bagiku, warnanya yang hitam, dan aromanya yang tidak menggugah selera menjadikannya penganan yang layak diabaikan. Lagian nampak berminyak pula, sepertinya sangat kaya akan kolesterol.
Sampai suatu sore dua hari yang lalu, aku beranjak dari kosan dengan hasrat menikmati semangkuk bubur kacang hijau kesukaanku. Sayang seribu kali sayang, penjual bubur langganan nampaknya sedang ijin entah kemana, daripada celingak-celinguk di depan gerobak jualan orang, aku pura-pura jalan ke satu gerobak lain dengan penganan yang kehitam-hitaman dan berminyak itu, sama kaya si Mang penjualnya, hehehe.... Aku pun dengan berat hati membeli satu biji.
Sampai di kosan aku tak menyentuh makanan itu, bahkan tak ingat lagi aku pernah membelinya. Baru selepas waktu isya penganan itu tertangkap pandangan mata. Iseng-iseng aku icip-icip, mula-mula satu gigit, lalu gigit berikutnya menyusul sampai gigitan terakhir, eh ternyata rasanya enak juga.
"Ooh, pantesan orang-orang suka," pikirku dalam hati. Sayang aku belinya cuma sebiji, gak ingat lagi deh penampilannya yang hitam atau minyaknya yang melengketkan.
Ada yang bisa menebak gak, penganan apa yang kumaksud...?

08 Agustus 2008

Jingga

aku suka menatap jingga
dari sebalik jendela
dengan jarum-jarum air hujan sebagai tirainya

aku suka menatap bola mata
di mana di sana kudalami sebongkah jiwa
yang tak terpermanai dalamnya

tapi,
sungguh aku iri pada sunyi
yang asyik dengan mimpi-mimpi
:mengukir sekian arti

sedang diri menetak jiwa yang jingga berharap sunyi tak menghampiri

07 Agustus 2008

Merdeka!!!

Judul “merdeka” kutulis bukan karena berniat nyeleneh merayakan kemerdekaan sepuluh hari lebih cepat pada tanggal 7 Agustus ini. Namun, aku sedang memikirkan makna kata “merdeka” itu sendiri. Iseng kubaca di KBBI, arti kata “merdeka” adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan) ; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa.

Kata “merdeka” itu kepikiran terus akibat satu pesan pendek dari temanku. Begini nih awal ceritanya:
“Sen, tanggal 17 Ita ga bisa ikut, ih bete banget.” Semalam pesan pendek itu mampir di ponselku. Seketika ingatanku beralih pada rencana tanggal 17 Agustus mendatang bersama beberapa orang kawan untuk pergi kemping dan melaksanakan upacara bendera (patriotik abis, ya?) di kota Garut sana. Acaranya lebih banyak bersenang-senang tentu saja. Dan kawanku yang satu ini berniat melepas kesempatan tersebut karena pekerjaannya yang kupikir sudah keterlaluan. Bagiku itu suatu ironi. Sudah mah hari minggu, tanggal 17 Agustus pula, eh, dia tetap mesti kerja, katanya hari merdeka....

Nah aku pun jadi kepikiran kalau temanku belum merdeka karena “dijajah” pekerjaannya; sadis banget ya, istilahnya? Aku pun jadi berpikir tentang diri sendiri, aku sudah merdeka belum, ya? Jangan-jangan aku juga masih sering dijajah pekerjaan, diperbudak uang, ditaklukkan kemalasan, terikat oleh seribu satu macam kewajiban, bergantung pada satu atau sekian hal, terikat pada rutinitas yang itu-itu saja. Takutnya, diriku juga telah terpenjara pada aku yang bukan diriku. Entahlah aku malah dibuat pusing oleh sekedar kata “merdeka” saja.

Tiba-tiba aku berpikir sederhana: aku mau berpusing ria memikirkan kata “merdeka” atau tidak, mungkin di titik itu pun aku telah benar-benar merdeka. Merdeka untuk memikirkan kata “merdeka”. Dan sebaliknya, aku bebas merdeka untuk tidak memikirkan kata “merdeka”. Merdeka dengan apa yang kupunya, merdeka dengan apa yang kupikirkan, merdeka dengan apa yang kurasakan....

Bagaimanapun aku benar-benar berharap Ita merasa sungguh-sungguh merdeka ketika memilih untuk tetap bekerja dibandingkan mengikuti upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama kawan-kawan tercinta di puncak bukit sana.
Merdeka!!!

05 Agustus 2008

Dari Elegi hingga Eksistensi


Judul : Area X, Hymne Angkasa Raya
Tebal : xxiv+368 halaman
Pengarang : Eliza V Handayani
Penerbit : DAR Mizan
Cetakan Kesebelas : Juli 2003


Novel ini bercerita tentang naluri dasar manusia untuk mencari identitas diri guna menunjukkan eksistensinya. Seorang Yudho yang memimpikan petualangan namun justru menemukan bahwa petualangan yang ditemuinya tidak seindah yang ia impikan. Yudho mendapati konsekuensi logis dari mengetahui sesuatu yang hebat tidaklah mudah; taruhannya adalah hidupnya sendiri dan juga hidup orang-orang disekelilingnya. Penemuan akan arti hidup dan arti mencintai tanpa pretensi dalam petualangan yang tak terbayangkan.


Di tengah dunia yang dikuasai teknologi tinggi, di abad teknologi informasi, masyarakat membutuhkan jaminan besar dari energi dan masalah sosial yang tidak hanya melibatkan makhluk bumi.


Adalah seorang Elena Valeria, mahasiswi pascasarjana, putri psikolog analis terkemuka yang mendedikasikan dirinya pada misteri dan fenomena UFOlogi. Tantangan dari keluarga justru membuatnya semakin tegar dan konsisten dengan pilihannya. Keyakinan telah membuatnya berkorban banyak. Ia bahkan banyak tak sepaham dengan sahabat-sahabatnya sendiri. Kesunyian, kesepian tanpa dukungan, penolakan, prasangka, merupakan dera dan kepedihan yang mewarnai pilihan jalan hidupnya.


Namun, Elly, panggilan akrab Elena, tetap teguh memegang prinsip dan pendiriannya. Penolakan demi penolakan justru menguatkan tekadnya untuk benar-benar menguak tabir UFOlogi. Kesendirian dan kesunyiannya bermuara pada seorang Yudho yang juga tengah terombang-ambing didera petualangan yang menyeretnya pada pelarian demi pelarian.


Seorang Elly pada akhirnya juga menyadari bahwa arti kuat yang sesungguhnya adalah bukan menafikan pedih dan luka yang dirasakan. Kuat adalah justru berterima terhadap kenyataan dan perasaan sendiri. Pengakuan dan kerelaan untuk menerima dan menyadari bahwa ternyata kita lemah dan kerap rapuh sebagai manusia, tidak lantas mengabaikan dan menolak perasaan kecewa atau pun luka. Tapi cukup tabah menerima setiap kenyataan yang ada, dengan tetap berusaha untuk bangkit dan berusaha mengejar tujuan dan impian kita.


Mereka, Elly dan Yudho, menemukan kasih pada satu sama lain meski kerap diwarnai ego, tetapi mereka sadar bahwa meskipun mereka kerdil dan terbatas, mereka bukan tanpa arti, mereka punya makna, memiliki sesuatu yang menjadikan mereka eksis di bumi. Mereka sadar manusia dengam kombinasi jiwa, hati, dan pikiran yang menjadi nalarnya, memosisikannya sebagai makhluk yang istimewa di jagat raya. Manusia tidak pernah sendiri di antara sekian banyak fenomena bintang dan luar angkasa.


Novel ini memiliki nuansa yang berbeda dari novel kebanyakan. Futuristik, menarik, dan menggiring pembaca untuk terlibat dalam cerita. Merasakan keterasingan, ketakutan, getir, dan kesepian tokoh-tokohnya. Cinta yang terejawantahkan diam-diam di antara teror dan gelombang kematian yang mengincar. Mengkristal tanpa harus ada kemesraan fisik secara klasik. Tulus dan apa adanya. Menggetarkan emosi.
Boleh jadi alur cerita terasa sulit dicerna, terutama pada bagian awal cerita. Istilah-istilah keilmuan dan penjelasan tentang banyak teori science bertebaran di sana sini. Uraian-uraian dan perdebatan seperti yang banyak ditemukan di ruang kuliah dan diskusi-diskusi yang mungkin bisa menjenuhkan sebagian pembaca. Namun, Area X merupakan menu istimewa di antara sekian sajian khasanah sastra Indonesia. Saya rasa Anda akan menemukan banyak nuansa di dalamnya. Selamat membaca!